Polemik Rangkap Jabatan di PMI Bandar Lampung
Bandar Lampung, Pedulihukum.com — Rangkap jabatan di tubuh Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandar Lampung memunculkan perdebatan serius. Eva Dwiana, Walikota Bandar Lampung, resmi terpilih sebagai Ketua PMI Kota Bandar Lampung periode 2025–2030 melalui Musyawarah Kota ke-IX PMI di Gedung PKK Kota Bandar Lampung, Kamis (18/9/2025).
Sebagian kalangan menilai langkah ini strategis karena diyakini dapat memperkuat dukungan kebijakan dan sumber daya.
Namun, pihak lain menilai hal ini mengkhianati prinsip dasar PMI: independensi, netralitas, dan bebas dari kepentingan politik.
Pertanyaan pun mengemuka: apakah rangkap jabatan benar-benar mendukung misi kemanusiaan, atau justru menodai amanah yang seharusnya dijaga?
Independensi PMI yang Dipertaruhkan
PMI berdiri di atas tujuh prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Salah satunya adalah independensi, sebagaimana diatur dalam Statuta Palang Merah Internasional 1986.
Prinsip ini menggarisbawahi bahwa PMI harus netral, tidak berpihak, dan bebas dari intervensi politik.
Ketika seorang Walikota memimpin PMI, batas antara misi kemanusiaan dan kepentingan politik berpotensi kabur.
Kebijakan kemanusiaan rawan ditarik ke ranah politik, termasuk dalam penganggaran hingga kepentingan elektoral.
Jika independensi ini terkikis, kepercayaan publik terhadap PMI pun bisa terancam.
Konsentrasi Kekuasaan dan Beban Ganda
Walikota sudah memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola birokrasi, kebijakan, dan anggaran daerah.
Ditambah dengan kursi Ketua PMI, konsentrasi kekuasaan semakin menumpuk pada satu individu.
Seperti diingatkan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Di sisi lain, sulit membayangkan seorang kepala daerah yang disibukkan urusan pemerintahan tetap dapat optimal memimpin organisasi kemanusiaan.
Risikonya jelas: pelayanan PMI bisa menurun dan masyarakat yang paling membutuhkan bantuan justru dirugikan.
Konflik Kepentingan dalam Pengelolaan Dana Hibah
Masalah lain adalah potensi konflik kepentingan. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Permendagri No. 77 Tahun 2020, dana hibah harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
Namun, jika Walikota sekaligus menjadi Ketua PMI, posisinya otomatis sebagai pemberi sekaligus penerima dana hibah. Mekanisme check and balance pun berisiko lemah.
Tanpa pengawasan ketat, publik tidak mendapat jaminan bahwa dana hibah benar-benar digunakan untuk kepentingan kemanusiaan.
Pelanggaran Aturan Internal PMI
Anggaran Dasar PMI Bab IV Pasal 14 ayat (3) menegaskan bahwa pengurus PMI tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah, pejabat negara, atau pengurus partai politik.
Dengan demikian, rangkap jabatan ini bukan sekadar persoalan etika, tetapi juga berpotensi melanggar aturan internal organisasi.
Jika aturan dasar organisasi saja diabaikan, kepercayaan publik terhadap PMI bisa semakin goyah.
Belajar dari Kasus Pati
Kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Pati. Haryanto, Bupati Pati 2017–2022, merangkap jabatan sebagai Ketua PMI Kabupaten Pati periode 2020–2025.
Posisi ganda ini menimbulkan sorotan tajam karena sebagai Bupati otomatis ia menjadi Pelindung PMI, sekaligus Ketua PMI.
Dr. Torang Manurung, akademisi hukum Universitas Safin Pati, menilai rangkap jabatan tersebut melanggar Pasal 21 AD/ART PMI, yang melarang Pelindung merangkap jabatan dalam kepengurusan.
Kondisi itu menimbulkan conflict of interest nyata karena laporan kegiatan dan anggaran ditujukan pada dirinya sendiri.
Lebih jauh, Dr. Torang menegaskan bahwa pelanggaran ini bisa menyebabkan status kepengurusan cacat hukum dan kebijakan yang diambil tidak sah.
Ia bahkan mendorong musyawarah luar biasa untuk memilih ketua baru sebagaimana diatur dalam AD/ART PMI.
Standar Internasional: Netral dan Profesional
Praktik internasional menunjukkan bahwa kepemimpinan PMI seharusnya netral dan profesional.
American Red Cross, Palang Merah Swiss, dan Palang Merah Jerman menegaskan bahwa pucuk pimpinan organisasi tidak boleh diisi pejabat politik aktif.
Kepemimpinan dipercayakan pada figur profesional non-pemerintah, untuk menjaga netralitas dan menghindari konflik kepentingan.
Jika organisasi kemanusiaan dunia bisa menjaga prinsip tersebut, mengapa PMI justru mengabaikannya?
Pilihan Amanah yang Bijak
Polemik ini menjadi momentum refleksi bagi Eva Dwiana maupun kepala daerah lain. Kepemimpinan bukan semata soal kekuasaan, melainkan juga tentang keberanian membuat pilihan bijak.
Melepas kursi Ketua PMI tidak akan mengurangi peran kemanusiaan seorang Walikota.
Sebaliknya, langkah itu justru memperkuat independensi PMI, menjaga kredibilitas organisasi, serta menunjukkan komitmen bahwa amanah publik tidak boleh ditumpuk dalam satu tangan.
Dengan begitu, amanah kemanusiaan dan amanah politik dapat berjalan beriringan tanpa saling mengorbankan. (**).